sakuntalla


KPK Perlu Menjebak?
April 22, 2008, 11:08 am
Filed under: Article

Oleh ROMLI ATMASASMITA

Pernyataan Presiden Yudhoyono tentang ”penjebakan” baru-baru ini menimbulkan multiinterpretasi di masyarakat dan ahli hukum.

Pernyataan di depan peserta Konvensi Nasional Hukum Konstitusi itu memerlukan klarifikasi hukum agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran. Kejelasan itu perlu terkait perbedaan ”penjebakan” (entrapment) dan ”tertangkap tangan”(redhanded).

Dalam sistem hukum Civil Law dan Common Law, konsep pertama sering menjadi kontroversi karena dianggap melanggar hak asasi atau hak privasi seseorang. ”Penjebakan” (entrapment) diartikan, ”A law enforcement officer’s inducement of a person to commit a crime, for the purpose of bringing a criminal prosecution against that person” (Black” Law Dictionary, 1996:225).

Sedangkan ”tertangkap tangan” (redhanded) dalam Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (Pasal 1 Angka 19 UU No 8 Tahun 1981) diartikan, ”tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana atau segera sesudah tindak pidana dilakukan.”

Berbeda

Berdasar definisi itu, ada perbedaan antara ”menjebak” atau ”penjebakan” dan ”tertangkap tangan”. Kasus Mulyana W Kusumah (KPU) merupakan entrapment, sedangkan kasus Urip Tri Gunawan, Al Amin Nur Nasution, dan Irawady Joenoes adalah kasus tertangkap tangan.

Dalam kasus-kasus itu, KPK tidak pernah membujuk tersangka untuk melakukan penyuapan agar dapat dijadikan tersangka. Adapun dalam kasus Mulyana, KPK melakukan penjebakan setelah mendapat laporan dari Khairiansyah. Saat dijebak, sama sekali tidak ada pernyataan yang mempersoalkan penjebakan itu.

Pertanyaannya, apakah KPK dibenarkan menggunakan ”penjebakan” dalam keadaan ”tertangkap tangan”? Selaku lembaga extra-ordinary, UU No 31 Tahun 1999 dan UU Pembentukan KPK (UU No 30 Tahun 2002) mendesain KPK untuk melaksanakan tugas dan wewenang luar biasa agar dapat mencegah dan memberantas korupsi. Tindak korupsi sendiri telah bersifat sistemik dan meluas, merasuk seluruh lapisan penyelenggara negara, dan sulit pembuktiannya.

Kewenangan luar biasa KPK itu berdasar hukum kuat dalam UU No 30 Tahun 2002 (Pasal 12 huruf a sampai h). Dasar ini tidak dimiliki kepolisian maupun kejaksaan sehingga bisa melakukan penyadapan, merekam pembicaraan, atau meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka. KPK juga dapat memeriksa penyelenggara negara tanpa izin Presiden atau atasan tersangka.

Pembentukan KPK melalui UU telah disetujui DPR dan pemerintah saat persetujuan ditetapkannya RUU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 menjadi UU (Pasal 43). Usul pembentukan KPK sendiri bukan dari pemerintah saat itu, melainkan dari Fraksi PPP dan disetujui semua fraksi sebagai hasil negosiasi atas usulan pemerintah memasukkan ketentuan tentang pembuktian terbalik-terbatas dalam UU No 31 Tahun 1999 (Pasal 37). Usulan Fraksi PPP diterima pemerintah dan menjadi inisiatif pemerintah untuk kemudian mengusulkan pembentukannya melalui UU No 30 Tahun 2002.

Tak dapat diintervensi

Pernyataan Ketua KPK Antasari Azhar bahwa KPK tidak dapat diintervensi patut diapresiasi meski bukan dimaksudkan siapa pun—termasuk Presiden SBY untuk melakukan hal itu. Pernyataan Antasari hanya menegaskan, KPK harus selalu bertindak independen dan tidak tebang pilih dalam menangani berbagai kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau anggota DPR atau DPRD.

Maka, pernyataan Presiden Yudhoyono harus diimbangi pernyataan kepada seluruh penyelenggara negara bahwa mereka sudah seharusnya mengetahui dan memahami UU. Apalagi, pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda utama Kabinet Indonesia Bersatu dengan keluarnya Inpres No 5/2004.

Semua penyelenggara negara seharusnya memahami seluruh ketentuan tentang UU Pemberantasan Korupsi dan ketentuan lain terkait UU itu. Memang amat naif jika penyelenggara negara berdalih, mereka tidak mengetahui dan memahami suatu UU telah diundangkan dalam lembar negara.

Maka, pernyataan Presiden dan Ketua KPK harus dimaknai sebagai upaya pemerintah bersama KPK memperkuat komitmen dalam mencegah korupsi melalui reformasi birokrasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan penindakan melalui penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tipikor dan berakhir dengan penjatuhan hukuman.

Strategi KPK jilid II ke depan akan melaksanakan keseimbangan antara pencegahan dan penindakan secara paralel sehingga masalah pemberantasan korupsi tidak harus berkutat di hilir saja, tetapi juga di hulu. Kedua wilayah target pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan itu harus menggabungkan keduanya agar pemberantasan korupsi tidak terjebak ke dalam lingkaran setan tak berujung.

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.22.00271083&channel=2&mn=158&idx=158


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment